Antara mutiara dari kelas tafsir ayat Al-Araf 59-62, Allah telah menganugerahkan kemahiran komunikasi kepada rasul-rasulNya dalam berdakwah. Di dalam Al Quran, telah dikumpulkan 6 teknik komunikasi iaitu:
1. Qaulan Makrufan - Percakapan yang baik
2. Qaulan Sadidan - Percakapan yang benar
3. Qaulan Layyinan - Percakapan yang berhemah
4. Qaulan Balighan - Percakapan yang sampai ke hati/menusuk kalbu
5. Qaulan Kariman - Percakapan yang setara/sekufu dan memuliakan pendengarnya / tidak menjatuhkan air muka pendenganrnya.
6. Qaulan Maisuran - Percakapan yang lemah lembut.
Embak google untuk dapatkan penjelasan bagi tips di atas dan terjumpa di blog ini: Teknik komunikasi dalam Al Quran, tulisan Rahmawatie Latif. Sila ke link tersebut untuk tulisan penuh. Berikut ialah petikan dari tulisan tersebut yang Embak cut and paste dan edit.
1. Qaulan Balighan
Di dalam al-Quran, term Qaulan Balighan
disebut hanya sekali dalam surah An-Nisa: 63. “Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya)
Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu
dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang membekas pada jiwanya.”
Term baligh yang berasal dari ba la gha, oleh para
ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain, atau sampainya
mengenai sasaran atau tujuan, juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifayah),
sehingga perkataan yang baligh adalah perkataan yang membekas dan merasuk dalam
jiwa manusia. Dilihat dari definisi di atas, maka pemahaman
tentang balighan termasuk dalam kategori prinsip komunikasi yang efektif. Pesan
harus disampaikan mengenai sasaran dengan metode yang tepat. Khutbah-khutbah
Rasulullah yang disampaikan secara singkat, tapi padat makna dengan mimik wajah
yang serius dan diksi yang menyentuh hati para pendengarnya adalah salah satu
contoh penggunaan qaulan balighan.
2. Qaulan Maisuran
Term ini hanya ditemukan sekali saja dalam surah
Al-Isra ayat 28. "Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk
memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada
mereka ucapan yang lemah lembut.”
Pada prinsipnya, qaulan maisuran adalah segala
bentuk perkataan yang baik, lemah lembut, dan melegakan. Ada juga yang
menjelaskan bahwa qaulan maisuran adalah menjawab dengan cara yang sangat baik,
lemah lembut, dan tidak mengada-ada. Ada juga yang berpendapat sama dengan
pengertian qaulan ma’rufan. Artinya perkataan yang maisur, adalah ucapan yang
wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat. Ucapan yang lemah lembut adalah perisai seorang
muslim dalam berkomunikasi. Meskipun konflik perbedaan pendapat semakin panas
tetapi kalau metode penyampaian dapat dilakukan secara lemah lembut biasanya
debat yang terjadi akan terkontrol, namun perkataan lemah lembut ini tidak
muncul begitu saja melainkan harus dilatih dan diiringi dengan budi pekerti
yang baik.
3. Qaulan Kariman
Term ini ditemukan dalam al-Quran hanya sekali
saja dalam surah Al-Isra ayat 23. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada
keduanya dengan perkataan yang baik.”
Pemahaman ayat di atas memberikan petunjuk untuk
berbuat baik kepada orang tua khususnya lagi kepada orang tua yang sudah
berusia lanjut untuk tidak mengatakan “ah”, tidak membentak keduanya, dan
diperintahkan mengucapkan perkataan yang baik atau qaulan kariman kepada
mereka. Dalam hal ini, al-Quran menggunakan term karim
yang secara kebahasaan berarti mulia. Term ini bisa disandarkan kepada Allah,
misalnya Allah Maha Karim, artinya Allah Maha Pemurah; juga bisa disandarkan
kepada manusia, yaitu menyangkut keluhuran akhlak dan kebaikan prilakunya.
Artinya, seseorang akan dikatakan karim, jika kedua hal itu benar-benar
terbukti dan terlihat dalam kesehariannya. Namun, jika term karim dirangkai
dengan kata qaul atau perkataan, maka berarti suatu perkataan yang menjadikan
pihak lain tetap dalam kemuliaan, atau perkataan yang membawa manfaat bagi
pihak lain tanpa bermaksud merendahkan.
4. Qaulan Ma’rufan
Di dalam al-Quran term ini disebut empat kali,
pertama dalam surah Al-Baqarah ayat 235. “Dan tidak ada dosa bagimu meminang
perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu)
dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka.
Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik…”
Kedua, dalam surah An-Nisa ayat 5. “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. “
Ketiga, dalam surah An-Nisa ayat 8. “Dan apabila waktu pembagian itu hadir beberapa
kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta
itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Keempat, dalam surah al-Ahzab ayat 32. “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti
perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
(melemahlembutkan suara), dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”.
Menurut A. Husnul Hakim IMZI (2008), kata ma’ruf
di dalam al-Quran terdapat sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai
berikut :
a. Terkait dengan masalah tebusan dalam masalah
pembunuhan, setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiat.
b. Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar,
‘iddah, pergaulan suami isteri.
c. Terkait dengan dakwah.
d. Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim.
e. Terkait dengan pembicaraan atau ucapan.
f. Terkait dengan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Menurut al-Ishfahani, term ma’ruf menyangkut
segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal dan syara. [9] Dalam
beberapa konteks al-Razi juga menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah
perkataan yang baik, menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak
merasa dianggap bodoh. Perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak
bisa memberi atau membantu. Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang
sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.
5. Qaulan Layyinan
Di dalam al-Quran term Qaulan Layyinan hanya
ditemukan sekali saja dalam surah Thaha ayat 44.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun)
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang
pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam
untuk menunjukkan perkataan yang lembut. Sementara yang dimaksud dengan
qaulan layyinan adalah perkataan yang mengandung anjuran, ajakan, pemberian
contoh di mana si pembicara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang
disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan
pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian,
qaulan layyinan adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah
adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk
kekuatan.
6. Qaulan Sadidan
Di dalam al-Quran term qaulan sadidan disebutkan
dua kali. Pertama dalam surah An-Nisa ayat 9. “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang
yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang
benar.”
Kedua, dalam surah Al-Ahzab ayat 70. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”
Berkaitan dengan perkataan qaulan sadidan, ada
banyak penafsiran, antara lain perkataan yang jujur dan tepat sasaran,
perkataan yang lembut dan mengandung kemuliaan bagi pihak yang lain,
pembicaraan yang tepat sasaran dan logis, perkataan yang tidak menyakitkan
pihak lain, perkataan yang memiliki kesesuaian antara apa yang diucapkan
dengan apa yang di dalam hatinya.
Realitas dan Solusi
Dari uraian di atas jelas terlihat prinsip-prinsip
komunikasi dalam Islam yang sumbernya berasal dari al-Quran mengajarkan kita
berkomunikasi secara jujur, benar, rasional, lemah lembut, tidak menyakiti
perasaan orang lain, tidak memandang rendah orang lain, tidak munafik, padat
makna dan tepat sasaran, istiqomah antara ucapan, hati dan perbuatan, pernyataan
membekas dalam jiwa, ajakan berbuat kebaikan, tidak mengada-ada dan komunikasi
yang membawa kebaikan dan manfaat kepada orang lain.
Namun secara realitas prinsip-prinsip ini belum
terlaksana dengan baik dalam kehidupan manusia. Dalam konteks kegiatan dakwah,
para da’i dan aktivis masih banyak menggunakan metode komunikasi koersif atau
memaksa kepada mad’unya atau objek dakwah dalam melaksanakan perintah Allah,
pesan yang disampaikan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah tetapi menggunakan
cara yang kurang simpatik, sehingga sebahagian para jamaah meninggalkan
acara-acara pegajian atau sebahagian para jamaah mengatakan bahwa isi dakwah
hanya berbicara tentang surga dan neraka saja.
Kadang-kadang hal ini juga
temukan dalam dakwah yang dilakukan di dalam rumah, para pemuda-pemudi Muslim
yang baru saja mendapatkan ilmu agama dari para ustadz-ustadzahnya menyampaikan
ilmunya dengan cara yang melukai hati orang tua atau para kerabat. Mereka
menganggap bahwa kebenaran itu wajib disampaikan meskipun pahit. Tentunya tidak
ada yang salah dengan pesan yang disampaikan tetapi metode yang tidak bijak
dapat menimbulkan persoalan yang baru. Keluarga bisa semakin jauh dengan dakwah
yang kita lakukan.
Dalam dunia pendidikan, ini pun banyak terjadi,
pendidik menyampaikan ilmu kepada siswa atau mahasiswa dengan menggunakan
pendekatan dan komunikasi yang kaku, alergi terhadap kritik dari anak didik,
menganggap dirinya (pendidik) adalah satu-satunya sumber kebenaran, padahal
ilmu itu dapat berkembang melalui adu kritik yang cerdas, sehat dan terkontrol.
Di dalam pergaulan sehari-hari, kita masih sangat sering menemukan percekcokan
yang bermuara kepada tingkat kriminal yang serius (misalnya: pembunuhan,
penikaman, pembakaran, perkelahian massal) karena kata-kata kasar yang tidak
dipikirkan atau karena hal-hal yang sepele tetapi tidak diiringi oleh
permintaan maaf. Penulis pernah melihat kejadian nyata di jalan Jatiwaringin,
Jakarta Timur, ketika sopir mikrolet menyenggol secara tidak sengaja sebuah
mobil yang dikendarai oleh seorang pilot yang akan bergegas ke bandara, dengan
kata-kata kasar penuh amarah sang pilot memaki-maki sang sopir. Saya hanya
trenyuh melihat kejadian seperti ini. Persoalan sepele dapat menjadi pemicu
keluarnya kata-kata kasar yang melukai.
Dalam dunia keluarga, komunikasi yang tidak Islami
masih sangat sering terjadi, seorang ibu memaki-maki anak yang berusia 2 tahun
karena menumpahkan semangkok bakso di atas karpet ruang tamu, padahal anak yang
berusia 2 tahun itu belum bisa bernalar dengan baik. Atau seorang suami yang
memarahi isterinya dengan kata penuh celaan karena terlambat menyajikan makanan
tepat waktu. Atau sebaliknya seorang isteri mengucapkan kata-kasar kepada suami
karena memberikan nafkah yang tidak cukup kepadanya. Atau seorang kakak yang cekcok
kepada adiknya karena menggunakan motor kesayangannya tanpa seizinnya.
Ketidakharmonisan komunikasi dalam keluarga ini sangat sering terjadi, padahal
yang kita sakiti adalah orang-orang yang kita cintai atas nama Allah.
Semestinya penerapan komunikasi yang Islami dan baik mestilah berawal dari
rumah karena rumah adalah sekolah pertama untuk berkomunikasi dengan penuh
kasih sayang bagi penghuninya sebelum mereka keluar dan melakukan interaksi
dengan komunitas yang lain.
Hal ini juga semakin diperburuk oleh tayangan
dalam sebahagian besar televisi yang sering mempertontonkan dialog-dialog kasar
dalam beberapa program TV. Dialog tersebut bisa berbentuk kata-kata ejekan,
celaan yang merendahkan kaum minoritas seperti orang-orang cacat dan pembantu
atau perkataan yang mengeksploitasi unsur-unsur seksual terhadap perempuan atau
perkataan yang tidak santun terhadap orang tua, guru dan kerabat yang
seharusnya kita hormati. Tragisnya tayangan-tayangan ini dinikmati oleh anggota
keluarga kita tanpa disadari bahwa televisi dapat menjadi ‘guru’ dalam
membentuk model komunikasi yang buruk.
Solusi untuk semua ini, mestilah berawal dari
kesadaran bahwa setiap apa yang kita ucapkan dalam bentuk perkataan akan
dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahuwataala di hari akhirat
kelak. Hal ini jelas dalam firman-Nya, surah An-Nur: 24 “Pada hari, (ketika)
lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan.” Dengan kesadaran seperti ini, tentunya akan berfungsi
sebagai alat kontrol setiap perkataan yang akan kita ucapkan.
Kedua, belajar
untuk melatih diri berkomunikasi secara baik terhadap orang tua, kerabat, guru,
tetangga, kolega dan sesama manusia. Sebab komunikasi yang baik akan muncul
dari kebiasaan yang baik.
Ketiga, memperkecil mudharat dari komunikasi negatif
yang kita lakukan. Misalnya menahan mengucapkan perkataan kasar ketika sedang
marah. Tidak menyindir terlalu berlebihan ketika sedang kesal terhadap
seseorang.
Keempat, berdoa agar terhindar dari ucapan yang buruk dan dosa-dosa
lisan. Dengan demikian, dunia ini akan semakin damai dengan penerapan
prinsip-prinsip komunikasi yang Islami. Semoga.
Glugor, P.Penang, 13022010
(Penulis adalah alumni of Media and Communication
Studies (MENTION), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), pernah
mengajar di FISIP Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako.
No comments:
Post a Comment